Jeritan Keringat Buruh
Jeritan Keringat Buruh
Penulis: Eka Wanora Afiza
Pagi sudah mulai memberontak
Para buruh terbangun kurus seperti tengkorak
Yang pergi mencari rupiah untuk melanjutkan hidup agar bisa didongkrak
Panas terik matahari mengupas kulit yang sudah berkerut
Mencari wadah untuk bergelut
Keringatnya membasahi badan yang sudah keriput
Merekapun ikhlas walau badai awan panas menghampiri otak putih rambut
Wahai bapak ibu buruh
Tidak ingin melihat tulang belulangmu runtuh
Namun karna anak-anakmu yang banyak terenyuh
Sehingga engkau pergi ke tempat semak belukar yang tumbuh
Di perkotaan sana, para pejabat kaya tertawa liar
Menganggap diri sudah mampu mencapai dan menumpuk gelar
Dibawah teduhan-teduhan yang megah menggelengar
Hanya duduk memutar kursi mewah, menunggu makanan ketika lapar
Namun, mereka tak pernah berandai
Hidup dibawah teduhan terik panas demi sesuap nasi
Yang kadangkala persinggahannya tak sampai
Mereka para pejabat hanya santai dibawah gedung-gedung mewah yang terurai
Terlihat kerumunan awan abu mengumpul tesentak
Membentuk gumpalan hingga rintik hujan terlebih dahulu membasahi otak
Walau pejabat tersenyum congkak
Mereka tetap berdiri tegak
Wahai para buruh,
Kulitmu terjerit kepanasan oleh sang raja cahaya
Membanting tulang demi sebuah harapan yang tidaklah bergaya
Tetesan-tetesan keringat menjerat tenaga hingga tak berdaya
Namun begitu, kau tak kenal lelah demi menghidupi sang buaihan hati yang kadangkala murka
'Tek tek tek' detikan jarum jam berputar ribut
Suara gemuruh perut sudah mulai menununtut
Tangan lemah keriput mengambil nasi kaput
Untuk mengisi perut agar tidak berdenyut
Senja sudah menampakkan diri mulai tenggelam
Sehingga tertutup kabut awan hitam menyelam
Harapan rupiahnya pun sudah tergenggam
Dusunku, 16 Juni 2019
Keren
BalasHapus