Cerpen, Berlian Keluarga Tertikam Tusukan Ikan






Berlian Keluarga Tertikam Tusukan Ikan
Penulis: Eka Wanora Afiza


Seorang anak hidup ditengah keluarganya, yang selalu merintih akan kebencian dari ibunya sendiri. Heran sekali, padahal anak ini adalah anak terakhir dari tiga bersaudra, dua perempuan dan satu laki-laki, dan laki-laki inilah anak terkahirnya. Namun ia mendapat perlakuan yang tidak senonoh dari ibunya sendiri, entah kenapa ia dikatakan ibunya selalu membawa masalah didalam keluarganya, padahal ia masih umur 6 tahun. Seharusnya anak yang masih dini akan dilumpuri selalu dengan rangkulan kasih sayang keluarga, terutama sang ibu karna ialah yang melahirkannya.
Tentunya seorang ibu tidak pernah mempermasalahkan setiap kebiasaan dan sikap baik maupun buruk anaknya, pastinya seroang ibu hanya tahu bahwa anak adalah segalanya dan segalanya. Namun berbeda dengan keluarga ini, apapun yang dikerjakan anaknya selalu dipandang salah oleh ibunya, padahal anak seusia dia seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari orangtuanya, layaknya seperti anak-anak yang lain. Entah kenapa ibunya selalu memperlakukannya seperti bukan anaknya sendiri. Tidak sepantasnya bukan?
Namanya Buli, anak ini berkulit hitam pekat, berbeda dengan kakak-kakaknya. Yah namanya juga manusia, tentunya ada titik bedanya dengan orang lain, nah apalagi saudaranya. Entah dari segi warna kulit, mata, hidung, dan lain sebagainya. Ia ditinggalkan oleh ayahnya sejak ia masih berumur 3 tahun, karna kecelakaan di rantauan. Namun, entah dari segi apa anak tersebut dipandang jelek oleh ibunya sendiri. Walaupun merasa terasingkan, anak ini tidak pernah merasa sendiri, karna masih ada teman yang selalu menemani disetiap zona bermainnya. Yah seperti yang diketahui namanya juga anak-anak, lebih nyaman dengan teman bermainnya. Entah itu temannya mainnya adalah kakaknya, ibunya atau bahkan ayah dan tentangga yang ada disekitarnya. Namun, yang menjadi teman ketika ia selalu bermain adalah anak tentangganya, namanya Adi. Ia selalu baik terhadap Buli, mesti pernah berantem. Tapi mereka tidak pernah tidak saling sapa. Mereka tetap saling merangkul, bahu membahu, walaupun masih kecil.
Kebencian yang diperlihatkan oleh ibu Buli ini tidak sepantasnya memperlihatkan sikap seperti itu terhadap anaknya, karna anak pada seusia begitu masih nyaman dengan rangkulan kasih sayang orangtuanya, bukan malah sebaliknya. Adapun kejadian yang memang membuat seorang ibu luluh akan perbuatannya tentunya.
Pagi sekali riuh suara pasar terdengar di sebrang jalan sana, tentunya segerombolan orang pekerja keras memikuk dirinya untuk tetap bekerja, berusaha demi sesuap nasi untuk keluarganya. Biasanya anak-anak kerap sekali ingin membeli ini dan itu, tertutama apa yang ia ingin makan dan mainkan.
“Bu, boleh minta uang jajan?”, ujar Buli
“Apaan si ni anak?!! Gaada uang jajan, udah untung dikasih makan malah minta uang! Gatau malu banget!”, ungkap seorang ibu dengan lantangnya.
“Tapi buk, Buli hanya minta Rp. 2000.00,- aja bu, ngga lebih”, katanya dengan lirih.
“Nih anak yaa.. dibilangin gaada uang jajan, masih aja ngeyel. Udah!! Pergi sana pergi!!”
“Tapi bu...”, ungkap Buli dengan rintihannya.
“Gaada tapi tapian, dibilangin juga.. (lantang murka, dengan menarik telinga anaknya sambil memukul-mukulnya) heh anak pembawa sial! Kamu pergi ngga dari sini?!! Ganggu aja! Seharusnya dulu kamu tidak terlahir di dunia ini, di keluarga ini! kenapa kamu ngga mati sih dulu?! Mudahan aja yaa kamu mati tertusuk tusukan ikan, biar mampus, biar gaada lagi pembawa masalah dikeluarga ini! pergi pergi pergi!!”
Buli pun beranjak pergi meninggalkan rumah dengan merintih menangis kesakitan, ia berteduh dibawah pohon pisang. Walaupun ia selalu merintih dengan seringnya diperlakukan begitu oleh ibunya, ia tidak pernah menampakkan kesedihannya di hadapan temannya atau bahkan orang lain. Dan tiba-tiba si Adi datang menghampiri Buli dengan membawa roti yang ia beli di warung sebrang sana. Buli pun langsung mnghapus air mata di pipinya.
“Ehh Bul, kau kenapa? Tangan kamu kok memerah?!”, tanya Adi.
“Hehe ngga kok Di, ini bekas aku jatuh tadi di dekat rumah”, jawab Buli dengan kepuraannya.
“Ohh aku kira bekas apaan, ohh iya nih aku bawa roti. Sama-sama sepotong yaa?”, ujar Adi dengan riang gembiranya.
“Hehe terima kasih ya Di”, kata Buli dengan senangnya, ternyata masih ada teman sepeduli ini, seperhatian ini, apalagi ia selalu berbagi denganku, ungkap Buli di dalam hatinya.

Setelah selesai memakan roti, Adi dan Buli pun beriringan berjalan sambil memikirkan, apa yang akan mereka mainkan kali ini.
“Ehh Di, kita main di dalam pasar yuuuk!”, ujar Buli.
“Kenapa harus di dalam pasar Bul?”
“Ayookklah!”
Sesampai di dalam pasar, Buli pun melihat suasana pasar yang sangat ramai. Namun ada satu tempat yang memang sedikit luas untuk mereka bermain. Tapi, di area sana banyak sekali bekas-bekas tusukan ikan yang berserakan.

“Di, tempat ini cukup luas deh, kita main kejar-kejaran disini yaa?”, ukata Buli dengan senyum manisnya.
“Hah? Main kejar-kejaran disini? Kamu yakin Bul?”, tanya Adi dengan perasaan tidak enak.
“Yakinlah Di, kita suit yaa.. siapa yang kalah itu yang ngejar oke?!!
‘Tuh udah kuduga pasti aku yang kalah”, ujar Adi
“Haha, jadi kamu yang kejar aku yaa Di”
Buli pun berlariah ditempat itu dengan gembiranya. Dan Adi pun mengejarnya,
“Bul, tunggu bul.....”
Buli pun menoleh kebelakang dengan senyumnya sabil berkata “Haha ayoook Di, kejarr aku!”. Tanpa ia sadari ada batu kecil yang menghentikan langkahnya hingga ia tesandung ke tempat bekas tusukan ikan tersebut. Sehingga tusukan tersebut menikam ke lehernya.
“Buliiiiiii....”, teriak Adi dengan suara khawatirnya, ketika ia mendekat ternyata tususkan tersebut menusuk dilehernya, Adi pun menangis keakutan.
Segerombolan orang yang ada dikejadian tersebut terkejut dan langsung menghampiri Buli yang tergeletak dengan mengeluarkan banyak darah disekitaran lehermya. Sebagian orang disana langsung membawa Buli ke puskesmas terdekat untuk dievakuasi. Dan salah satu bapak berlarian ke rumah ibu Buli untuk melaporkan kejadian yang menimpa anaknya.

“Buu, buu.. bu Miraahh???!”, ungkap bapak tersebut.
Bu Mirah pun langsung membuka pintunya dengan berkata “Iyaaaa.. ada apasih? Teriak-teriak gajelas banget di rumah orang?!”, ujar bu Mirah dengan sedikit kesal.
“Itu buk, anak ibu si Buli di bawa ke puskesmas. Karna bekas tusukan ikan menikam dilehernya pada saat ia bermain”, ujar bapak tersebut.
“Apaaaa?! (dengan suara berkaca-kaca) Bu Mirah pun langsung teringat dengan perkataannya pagi tadi kepada anaknya, bisa dikatakan sebagai kalimat sumpahan untuk anaknya. Dan bu Mirah langsung bergegas pergi ke Puskesmas untuk melihat keadaannya anaknya. Namun sayangnya sudah terlambat. Setelah tusukan tersebut dicabut Buli pun sekarat dan menghembuskan nafas terakhirnya, yang ia ingat hanyalah Ibunya waktu itu. Tapi sang ibu datang ketika ia sudah kehilangan nyawanya.
Bu Mirah pun hanya bisa menangisi Buli dengan kerasnya, dengan rasa sesal yang ia katakan sebelumnya. Apalah daya nasi sudah jadi bubur. Bu Mirah pun tidak bisa berkata apa-apa ketika si Buli sudah tiada. Nah itu, memang kalau sudah kehilangan apapun itu tentunya rasa sesal semakin melekat, semakin terasa.
Dengan kejadian yang menimpa kepada anaknya, bu Mirah selalu dihantui dengan rasa sesal, dan mulai merasa rindu kepada Buli yang pernah ia sumpahin waktu itu. “Aku menyesal mengeluarkan kata-kata itu kepada Buli, ternyata tak lama kemudian kejadian menimpanya. Dan ternyata itu do’a untuk anakku. Maafkan hamba-Mu ini Ya Allah, hamba menyesal, dan sangat menyesal. Hamba tidak bisa menjaga amanah yang engkau beri untukku”, ungkap bu Mirah di dalam hatinya.
Yah itulah hidup, semua orang tentunya pernah kehilangan sesuatu yang berharga, kehilangan suatu kemungkinan, kesempatan atau bahkan perasaan yang ia dambakan. Tetapi memang dari ini kita belajar bahwa tanpa mengetahui makna perpisahan maka kita akan sulit menikmati suatu pertemuan. Bahkan bahagia pun terungkap ada karna ada kegelapan dulunya.

SEKIAN DAN TERIMAKASIH
24 Juli, 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

O P I N I | Learn, Try & Do

Awas, Indonesia di Bawah Bayang-bayang Resesi Ekonomi